Lewat surat-suratnya, Raden Ajeng Kartini telah membuka mata banyak perempuan Indonesia untuk bangkit dari kemiskinan, kebodohan, keterkungkungan adat, serta menjadi perempuan merdeka. Lewat surat-suratnya pula, Kartini telah mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan-perempuan pribumi Indonesia khususnya di Pulau Jawa.

Salah satu surat yang sangat terkenal karya RA. Kartini adalah “habis gelap terbitlah terang. ” Walau kini kartini sudah tidak ada tapi kita yakin bahwa akan banyak lagi kartini-kartini lainnya.

Salah satunya yaitu Ita Nurfitria Sari, Novia Ade Betaningrum dan Juariah adalah Alumni STIKes DHB lulusan 2011. Passionnya di bidang organisasi yang selalu begelut dalam bidang sosial menuntunnya kini untuk fokus dalam pengabdiannya di Kampung Palintang Desa Cipanjalu Kec. Cilengkrang.

Sempat kuliah di jurusan D3 Kebidanan STIKes DHB dan mempunyai latar belakang pengalaman di organisasi  membuat ketiga alumni kebidanan STIKes DHB ini tidak berdiam diri.

Banyaknya anggapan bahwa keputusan mereka untuk mengabdikan dirinya di kampung tersebut adalah keputusan yang kurang tepat, mengingat tidak ada jaminan untuk masa depan bagi mereka. Tapi Ita dan kawan-kawan meyakini bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah ketika seseorang mampu berbagi dengan orang lain bukan dari jumlah materi yang bisa didapat dan masa depan yang sesungguhnya adalah hidup bahagia mati masuk surga.

Palintang merupakan perkampungan yang terletak diantara Gunung Palasari, Gunung Kasur dan Gunung Bukit Unggul, jarak tempuh perjalanan dari kota Bandung sekitar 2 jam lebih melewati persawahan, perkebunan dan perbukitan. Maka tidak heran jika kita sampai di kampung palintang alat komunikasi disini tidak optimal untuk digunakan mengingat sinyal Hand Phone sangat lemah sekali itupun hanya ada di beberapa tempat tertentu bahkan tidak ada.

Menurut Ita, menjelaskan bahwa masyarakat Palintang adalah kelompok masyarakat yang menerapkan hidup bersahaja dan bertahan bersama tradisi nenek moyang mereka. Jauh dari hingar-bingar modernitas, termasuk di bidang kesehatan sekalipun. Bahkan, Bidan yang bertugas dikampung ini hanya datang sekitar seminggu sekali. ‘’Kondisi itu yang justru memotivasi saya untuk bisa bekerja sesuai dengan keterampilan saya di sini,’’ kata wanita berkerudung tersebut.

sebelum, masyarakat menggunakan jasa paraji alias dukun beranak untuk proses kelahiran. Kedatangan sejumlah tenaga medis yang telat datang dan jauh untuk dijangkau dalam keadaan darurat kerap dianggap sebagai permasalahan.

 Sebelumnya Ita bersama kedua temanya kesulitan untuk memberikan tindakan dan pelayanan kesehatan di Kampung palintang, tapi berkat dukungan dan kerjasama dengan puskesmas cilengkrang, sekarang mereka dipercaya untuk mengelola Poskesdes yang belum lama ini di bangun di kampung palintang. Bahkan sekarang bukan hanya satu kampung saja, melainkan seluruh desa cipanjalu yang terdiri dari 11 kampung mereka mempunyai kewajiban untuk melakukan pendampingan bagi Ibu-ibu yang terkait dengan kesehatan Ibu dan Anak.

Banyak perubahan yang terjadi di kampung palintang semenjak kedatangan ketiga bidan tersebut, saat ini mereka tinggal di sebuah rumah yang disewa dari bantuan program DHB Berbuat. Melalui rumah tersebutlah kini mereka membuat sebuah taman bacaan masyarakat serta membuat ruang khusus untuk menggali kreatifitas anak muda palintang dengan program Remaja Karya.